“Hidup itu kayak makanan. Dalam satu piring ini, lo bisa ngerasain yang pahit sepahit-pahitnya atau yang seasin-asinnya kalo lo makannya sendiri-sendiri.” Secuplik kutipan dari karakter Bono, koki terkenal bestie sang karakter titular dalam Aruna dan Lidahnya.
Mudah saja mendua ketika berbicara mengenai cinta, karir, atau pertemanan. Namun, soal makanan, dijamin lidah tak pernah mendua. Dan itu prinsip yang diyakini Aruna. Makanan bak karya seni bagi Aruna. Sebuah persembahan ajaib dari Yang Mahakuasa lewat tangan-tangan para pemasak handal yang dihidangkan dengan presentasi cantik dan aroma yang menggugah selera. Lewat makanan, kita dibukakan pada fakta-fakta mengenai seseorang, mengenai pribadi tersembunyi tiap-tiap insan di dunia. Dan baginya, makanan adalah dunia Aruna.
Aruna dan Lidahnya, film adaptasi lepas garapan Edwin dari novel best-seller karya Laksmi Pamuntjak telah membukakan kita pada berbagai surga-surga kuliner yang tersebar di pelosok Indonesia. Film yang diproduksi oleh Palari Films dan dirilis pada tahun 2018 lalu menyoroti hidup Aruna Rai (Dian Sastrowardoyo), seorang ahli epidemiologi yang ditugaskan melakukan riset terkait virus flu burung di empat kota Indonesia : Surabaya, Pamekasan, Singkawang, dan Madura. Diam-diam, ia merencanakan perjalanan kuliner bersama Bono (Nicholas Saputra) yang merupakan seorang koki ternama di Jakarta. Tak disangka, mereka kedatangan Farish (Oka Antara), rekan kerja lama Aruna yang sekaligus menjadi cinta monyetnya, dan juga Nadezdha (Hannah Al Rashid), teman Bono yang merupakan penulis dan tentunya sama-sama food enthusiast. Perjalanan singkat mereka mengungkap kasus ini dibalut dengan kisah cinta dan juga masakan yang menggugah nafsu.
Surga Makanan di Layar Lebar
Menonton tuangan kuah kluwek rawon yang masih panas-panasnya, tangan-tangan pemilik warung choi pan membuat adonan, hingga kukusan daun pandan pengkang yang sempurna di layar luas bioskop merupakan pengalaman sendiri. Bayangkan saja, kita diberikan montase-montase makanan daerah secara jor-joran sepanjang durasi lewat sinematografi aduhai Amalia T. S. Membius mata, melaparkan perut.
Tak terhitung berapa banyak makanan-makanan yang menjadi showcase utama film ini. Empat kota yang dipilih memang tak main-main, semua punya ciri khas masing-masing dalam menghidangkan makanan. Surabaya dengan kacang kowa, soto lamongan, dan rawonnya, Madura dengan rujak soto dan lorjuknya, Singkawang dengan choi pan dan bakmi kepitingnya, dan Pontianak dengan nasi goreng dan pengkangnya. Semua makanan yang dipilih punya cita rasa dan hal menariknya sendiri. Dijamin bakal jadi wishlist setelah nonton karena perut keroncongan!
Kasus Flu Burung, Masihkah Relevan?
Original source film ini, yakni novel fiksi dengan judul yang sama, dirilis pada tahun 2014. Di mana, pada waktu itu flu burung menjadi perbincangan utama publik. Berbeda dengan perilisan film di tahun 2018, rasanya kasus ini tak lagi dekat dengan masyarakat meskipun masih ada hingga kini. Hal ini menjadi poin yang cukup disayangkan ketika filmnya dirilis, mengingat film ini merupakan adaptasi lepas novelnya. Namun, harus diakui, eksekusi Edwin dan segenap tim untuk menyelipkan kasus ini dalam film terbilang cukup baik.
Obrolan Meja Makan yang Santai nan Filosofis
Uniknya, selama durasi kita beberapa kali dijejali filosofi-filosofi luar biasa tentang makanan. Ya, makanan diperlakukan bak karya seni dalam ‘Aruna & Lidahnya’. Mulai dari Bono dan seribu kiasannya tentang hubungan makanan dan kehidupan, cocokologi Nadezdha tentang hubungan champagne dan rendang, hingga pergulatan batin Aruna tentang keanehan lidahnya. Makanan menjadi suatu hal yang mempersatukan keempat kuartet film ini.
Tenang, obrolannya tak melulu bicara mengenai sekedar filosofi semata. Malah, titik paling menarik dari setiap scene makanan, tentu selain makanan yang menggugah selera, adalah obrolan yang begitu natural. Setiap dialog yang dikeluarkan para tokoh mengalir begitu saja, selayaknya obrolan meja makan pada umumnya. Rasanya, masalah cinta, karir, atau sekedar gosip, semua bisa dituntaskan di meja makan didampingi dengan sajian kuliner.
Ada Cinta Lewat Kuliner
Tak saja menceritakan tentang kisah cinta empat pribadi dengan dunia makanan, ada juga cinta yang tumbuh di antara keempatnya. Kuartet Aruna, Farish, Bono, dan Nadezdha diperankan oleh aktor-aktor kenamaan negeri : Dian Sastrowardoyo, Oka Antara, Nicholas Saputra, dan Hannah Al Rashid.
Mendengar nama Dian Sastro dan Nicholas Saputra dalam satu projek, tentu semua akan mengingat duet maut Cinta dan Rangga di ‘Ada Apa dengan Cinta?’ yang begitu fenomenal. Awalnya, tentu audiens akan mengira di suatu titik nanti, Aruna akan jatuh cinta pada Bono karena kefasihannya dalam mengolah bumbu-bumbu favoritnya. Atau malah Bono yang jatuh cinta dengan Aruna yang blak-blakan soal masakannya yang tak melulu enak. Ternyata, justru sebaliknya! Mereka berdua sama-sama mendukung sesama bestie-nya untuk mengejar cinta mereka : Aruna dengan Farish dan Bono dengan Nadezdha. Masalah kualitas akting, tak perlu diragukan deh! Keempat pemain tak kalah mencuri perhatian seperti hidangan yang disajikan. Semua bermain dengan begitu perfecto! Ibarat steak, tingkat kematangannya well done, sempurna. Oh, begitu nikmatnya menonton setiap pemeran yang bermain lakon di sini.
Rasanya, ‘Aruna & Lidahnya’ bisa dinobatkan menjadi film kuliner terbaik Indonesia hingga sekarang. Seperti kiasan Bono tentang nasi goreng, film ini memiliki segalanya. Seperti bubur yang diaduk, daging yang dicampur kuah soto, atau bahan ketoprak yang diulek, semuanya tumpah ruah dan bercampur menjadi sebuah hidangan yang lezat nan nikmat. ‘Aruna & Lidahnya’ dapat ditonton di Vidio & Netflix. Lebuh rasa!
*Ulasan ini ditulis sambil menyantap makanan dan terbaik dibaca saat makan. Risiko ditanggung pembaca!
Penulis : Michael Chandra
Editor : Katherine Christlie
Sumber Foto :
- Palari Films
- https://www.themoviedb.org/t/p/original/5ltI0R4modGtteGgqF9IlKzKHGJ.jpg
Comentarios